JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Imposter syndrome merupakan kondisi psikologis yang memperlihatkan seseorang merasa tidak cocok atau tidak layak untuk mendapatkan pencapaian atau kesuksesan yang telah dicapainya.
Orang yang memiliki imposter syndrome cenderung memiliki kemampuan diri sendiri dan merasa bahwa perjuangannya hanyalah hasil dari kehokian atau keberuntungan saja, bukan dari kompetensi atau kerja keras yang dilakukanya.
Fenomena psikologis ini cukup biasa terjadi dialami oleh kebanyakan setiap orang, bisa saja mereka yang sudah meraih kesuksesan besar yang diperolehnya.
Istilah ini awalnya kali diperkenalkan oleh psikolog Pauline Rose Clance dan Suzanne Imes, pada tahun 1978. Pertama mereka akan meneliti fenomena ini dengan wanita berprestasi tinggi, akan tetapi penelitian ini memperlihatkan bahwa imposter syndrome bisa dialami oleh siapa saja, mulai dari gender, usia, atau pencapaian.
BACA JUGA:CEO Climate Talks: PLN Siap Dukung Pemerintah Capai 75% Energi Terbarukan hingga Tahun 2040
BACA JUGA:Bukan Janji Semata, Jumiwan - Maidani Sudah Bantu Urus Ratusan NIB UMKM
Imposter syndrome bukanlah suatu gangguan mental melainkan kondisi ini yang bisa berdampak signifikan pada kesejahteraan mental dan performa seseorang. Beberapa penyebab yang mungkin berkontribusi terhadap munculnya imposter syndrome antara lain:
Pola asuh dan lingkungan keluarga, Orang tua yang mengajarkan untuk selalu kritis dan menuntut kesempurnaan akan bisa mengundang imposter syndrome pada anak. Sebaliknya, orang tua harus memuji anak merasa pantas mendapatkan yang diperoleh.
Pengalaman masa kecil, biasanya trauma atau pengalaman negatif saat masa kecil, seperti bullying atau diskriminasi, bisa mempengaruhi cara seseorang untuk mengundang imposter syndrome kepada dirinya sendiri di kemudian hari.
Stereotip sosial dan budaya, ekspektasi sosial dan stereotip terkait gender, ras, atau latar belakang sosial ekonomi dapat membuat seseorang merasa tidak pantas berada di posisi tertentu.
Lingkungan yang kompetitif, berada di lingkungan yang kompetitif, seperti dunia akademis atau korporat, dapat menjadikan perasaan tidak mampu bersaing dengan orang lain.
Perfeksionisme, biasanya orang yang dengan kecenderungan perfeksionis lebih mudah mengalami imposter syndrome karena standar yang terlalu tinggi yang mereka tetapkan untuk diri sendiri.
Media sosial dan perbandingan sosial. Laparan terus-menerus terhadap kesuksesan orang lain di media sosial dapat memicu perasaan tidak mampu atau kurang berhasil.