Restorative Justice Terhadap Penyalahgunaan Narkotika Sebagai Solusi Over Capacity

Sabtu 13-11-2021,08:58 WIB

Oleh : Ade Malneda Putra

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Jambi.

Keadilan restoratif (restorative justice) bertujuan untuk memulihkan keadilan. Keadilan restoratif dipahami sebagai bentuk pendekatan penyelesaian perkara menurut hukum pidana dengan melibatkan pelaku kejahatan, korban, keluarga korban atau pelaku dan pihak lain yang terkait untuk mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pada pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.

Istilah keadilan restoratif berasal dari Albert Englash pada tahun 1977 yang mencoba untuk membedakan 3 (tiga) bentuk peradilan pidana, yang masing-masing adalah :

  1. Retributive Justice

Berfokus menghukum pelaku atas kejahatan yang telah dilakukan olehnya.

  1. Distributive Justice

Memiliki tujuan untuk rehabilitasi pelaku.

  1. Restorative Justice

Pada dasarnya adalah prinsip restitusi dengan cara melibatkan korban dan pelaku dalam proses yang bertujuan untuk mengamankan reparasi bagi korban dan rehabilitasi pelaku.

Dalam kamus konseling, rehabilitasi adalah proses atau program-program penugasan kesehatan mental atau kemampuan yang hilang yang dipolakan untuk membetulkan hasil-hasil dari masalah-masalah emosional dan mengembalikan kemampuan yang hilang. Dari definisi tentang rehabilitasi tersebut maka usaha rehabilitasi merupakan proses rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara bertahap, berkelanjutan dan terus menerus sesuai dengan kebutuhan.  Hasil akhir dari seluruh kegiatan rehabilitasi adalah untuk mengembalikan kemampuan dalam melaksanakan fungsi sosial secara baik dan wajar dalam kehidupan bermasyarakat.

Jika dihubungkan dengan dengan narkotika, maka pengertian rehabilitasi adalah usaha untuk memulihkan dan menjadikan pecandu narkotika hidup sehat jasmaniah dan rohaniah sehingga dapat menyesuaikan dan meningkatkan kembali ketrampilan, pengetahuan, serta kepandaiannya dalam lingkungan hidup.

Penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh seseorang pada awalnya didasari oleh rasa ingin tahu dengan harapan akan memperoleh kesenangan setelah memakai narkotika. Penyalahgunaan narkotika yang telah mengalami ketergantungan, dapat kambuh berulang kali dan bersifat progresif yaitu semakin memburuk jika tidak mendapatkan pertolongan dan perawatan yang baik.

Selama ini seorang penyalahguna, korban, dan pecandu narkotika seringkali mendapat perlakuan yang sama seperti pengedar ataupun bandar narkotika sebagai pelaku tindak pidana narkotika. Walaupun melakukan tindak pidana, penyalahguna, korban, dan pecandu narkotika sebenarnya lebih membutuhkan pengobatan dan perawatan melalui rehabilitasi, dibanding mendapatkan sanksi berupa pidana penjara, yang justru dapat memperburuk kondisi ketergantungannya terhadap penyalahgunaan narkotika. Pidana penjara yang selama ini diberikan, pada kenyataannya tidak mampu memberantas peredaran gelap narkotika. Bagi korban, penyalahguna, dan pecandu narkotika, pidana penjara bukanlah solusi utama.

Akibat dari hal tersebut, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) maupun Rumah Tahanan Negara (Rutan) di Indonesia mengalami Over Crowded (penuh sesak) dengan banyaknya pengguna narkotika mendapat putusan yang dikeluarkan oleh hakim hampir selalu berupa pidana penjara. Lapas dan Rutan di Indonesia sudah Over Capacity sebesar 248% berdasarkan data pada SDP Publik Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pertanggal 11 November 2021. Total penghuni Lapas dan Rutan seluruh Indonesia sebanyak 271.237 orang dengan kapasitas standarnya sebesar 132.107 orang. Jumlah kasus narkotika di Lapas dan Rutan adalah sebanyak 126.174 orang pengguna dan 17.233 orang bandar, pengedar, penadah dan produsen.

Baru-baru ini telah terbit Pedoman Kejaksaan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Restorative Justice sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa yang menjadi rujukan bagi penuntut umum. Pedoman tersebut diharapkan dapat mengurangi kapasitas narapidana di Lapas maupun Rutan. Dalam tuntutan penuntut umum, jaksa dapat memaksimalkan opsi rehabilitasi ketimbang pemenjaraan (hukuman penjara). Latar belakang dikeluarkannya pedoman tersebut memperhatikan sistem peradilan pidana yang cenderung punitif dan dapat menekan angka Over Capacity pada Lapas dan Rutan.

Terdapat ketidakjelasan pengaturan mengenai syarat menjalankan rehabilitasi. Menurutnya, dalam Pedoman Kejaksaan Nomor 18 Tahun 2021 Bab IV huruf E poin 5 menyebutkan, “Dalam hal tersangka tidak menjalani rehabilitasi melalui proses hukum tanpa alasan yang sah atau menjalani rehabilitasi melalui proses hukum, tetapi tidak sesuai dengan penetapan, penuntut umum memberikan peringatan secara tertulis kepada tersangka”.

Sementara itu, pada poin 6 menyebutkan “Dalam hal tersangka tidak mengindahkan peringatan sebagaimana dimaksud pada angka 5, penuntut umum melakukan penuntutan dan dapat melakukan upaya paksa terhadap tersangka”. Menurut penulis, kedua pengaturan tersebut menimbulkan pertanyaan soal maksud “dengan tidak menjalani rehabilitasi proses hukum tanpa alasan yang sah”. Kemudian, “alasan yang sah” dapat mengesampingkan proses rehabilitasi. Dalam Pedoman Kejaksaan Nomor 18 Tahun 2021 masih terdapat persoalan yang berujung praktiknya malah terjadi “pilih-pilih perkara” yang rehabilitasinya berjalan secara sah atau tidak sah karena tidak adanya indikator yang pasti. Termasuk tidak adanya mekanisme uji yang jelas, malah membuka peluang penyalahgunaan yang dapat berdampak ketidakadilan terhadap pengguna atau pecandu narkotika.

Tags :
Kategori :

Terkait