Oleh : Dr. Noviardi Ferzi
Hari ini, dalam dunia pendidikan, pelaksanaan Pertemuan Tatap Muka (PTM) adalah sebuah keniscayaan. Suatu pilihan yang harus dan mesti diambil pemerintah. Karena keniscayaan menyangkut sesuatu yang mutlak pasti terjadi. Maka, jika tidak dilakukan, akan ada resiko sistemik yang akan terjadi.
PTM penting untuk menekan risiko learning loss demi menjaga kualitas pembelajaran anak Indonesia. Risiko learning loss anak-anak menguat selama pandemi karena kegiatan belajar mengajar yang terpaksa dilakukan secara jarak jauh untuk menekan penyebaran Covid-19.
Upaya menyelenggarakan PTM terbatas Perguruan Tinggi, demi menekan risiko risiko learning loss atau menurunnya kemampuan belajar mahasiswa, dan menjaga kualitas pembelajaran mahasiswa.
Risiko ini terjadi karena peserta didik tidak memperoleh pembelajaran yang optimal sehingga berakibat pada kemunduran akademis dan non akademis. Intinya, semua pemangku kepentingan bersepakat kemunduran pendidikan akan terjadi.
Di era Pandemi, meski tak diakui secara gamblang, pembelajaran jarak jauh secara daring, kurang efektif dalam mewujudkan misi pengajaran, apalagi untuk mencapai sebuah tujuan pendidikan. Hampir dua tahun, pembelajaran daring hanya melepaskan tanggung jawab moral, sosial dan adminitrasi, dibanding sebuah pengajaran yang komprehensip seperti sebelum pandemi.
Sehingga Pertemuan Tatap Muka (PTM) sebuah ikhtiar berani dari pemerintah untuk menyelamatkan dunia pendidikan. Dikatakan berani langkah ini penuh resiko yang hampir sama jika tidak dilaksanakan.
Seperti, Uji coba PTM terbatas ataupun simulasi PTM dilakukan sebelum pembelajaran diterapkan, kasus penularan Covid-19 meningkat selama PTM terbatas diberlakukan.
Merujuk data Kemendikbudristek per Rabu (22/9), 1.296 sekolah melaporkan klaster Covid-19 setelah PTM terbatas digelar. Terdapat 11.615 siswa positif Covid-19. Data ini dikumpulkan dari 46.500 sekolah yang mengadakan PTM terbatas per 20 September 2021.
Artinya, data jumlah sekolah dan siswa positif Covid-19 ini hanya dalam hitungan hari. Memang, secara persentase, jumlah sekolah yang melaporkan klaster penularan Covid-19 kira-kira hanya 2,78 persen dari total sekolah yang menggelar PTM.
Seramnya, rentang waktu kejadian. Hanya dalam hitungan hari penularan virus terjadi pada nyaris 1.300 sekolah. Data statistik yang sejatinya merisaukan karena virus korona mudah sekali menular.
Data tersebut tentu harus menjadi bahan evaluasi. Bukan hanya dari segi dunia pendidikan, melainkan pula tinjauan dari aspek kesehatan masyarakatnya.
Apalagi, jika melihat lebih perinci data klaster Covid-19 di sekolah, kekhawatiran penularan lebih luas mencuat. Data Kemendikbudristek menyebutkan, dari 1.296 sekolah yang melaporkan klaster penularan Covid-19, terbanyak dari jenjang SD. Ada 581 SD yang melaporkan terjadinya klaster penularan.
Berikutnya, jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) sebanyak 525 sekolah, 241 sekolah jenjang SMP, 170 sekolah jenjang SMA, 70 sekolah jenjang SMK, dan 13 sekolah luar biasa (SLB). Jumlah siswa yang tertular juga terbanyak dari tingkat SD.
Siswa SD yang tertular Covid-19 selama PTM terbatas adalah 6.908 anak. Ada 3.174 guru SD yang juga positif Covid-19. Adapun di tingkat SMP 2.220 siswa dan 1.502 guru positif Covid-19. Selanjutnya, di jenjang PAUD terdapat 953 siswa dan 2.007 guru positif Covid-19.