JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Pemerintah bersama DPR RI telah menyetujui revisi ke dua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Persetujuan agar revisi UU ITE ini menjadi undang-undang pada 6 Desember 2023 lalu itu, dianggap masih berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi masyarakat.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, lewat siaran resminya pada 8 Oktober 2023 lalu.
Menurutnya, revisi kedua atas undang-undang tersebut juga tidak memberikan perubahan signifikan terhadap pasal-pasal yang selama ini menjadi ancaman kemerdekaan pers.
BACA JUGA:Pimpin Apel Disiplin, Pj Wali Kota Jambi Tegaskan Kinerja dan Netralitas ASN
Pasal-pasal yang dimaksud antara lain adalah Pasal 27A mengenai distribusi atau transmisi informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan tuduhan/fitnah dan/atau pencemaran nama baik.
Kemudian, ancaman lainnya datang dari Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang mengancam pelaku penyebaran pemberitahuan bohong dan SARA untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan.
Setiap orang yang melanggar pasal-pasal itu bisa dihukum penjara enam tahun dan atau denda Rp1 miliar.
Pasal-pasal yang mengatur soal penyebaran kebencian dan penghinaan tersebut menurut Ninik Rahayu, mengingatkan pada haatzaai artikelen dalam KUHP.
BACA JUGA:12 Tips Merawat Rambut Agar Tidak Mudah Rontok, Jangan Lakukan Hal-hal Ini!
"Pasal-pasal karet produk kolonial tersebut bahkan dikuatkan dengan KUHP baru sebagai produk hukum nasional, yang sebenarnya sudah tidak boleh diberlakukan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi," kata dia.
Selanjutnya, Pasal 27A, Pasal 27B dan Pasal 28 ayat (1) pada revisi kedua atas UU ITE berpotensi mengebiri pers.
Ini karena karya jurnalistik yang didistribusikan menggunakan sarana teknologi dan informasi elektronik (di internet) terkait dengan kasus-kasus korupsi, manipulasi, dan sengketa, dapat dinilai oleh pihak tertentu sebagai penyebaran pencemaran atau kebencian.