JAKARTA, JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Di tengah gemuruh legislasi baru yang mengiringi dunia pers Indonesia, suara keras dari komunitas pers menolak dengan tegas isi draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran.
Ini bukan hanya sekadar keberatan atas revisi yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), namun juga perlawanan terhadap potensi penurunan independensi dan profesionalisme pers.
Dalam jumpa pers di Kantor Dewan Pers, Jakarta, Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menegaskan penolakan mereka terhadap RUU tersebut.
Salah satu keberatan utama adalah ketiadaan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dalam pertimbangan penyusunan RUU Penyiaran.
BACA JUGA:Pj Bupati Bachyuni Kukuhkan Pemangku Adat Sebagai Datuk Penghulu
BACA JUGA:Pj Bupati Bachyuni Berhasil Turunkan Angka Stunting
Ini menjadi poin penting karena kedua undang-undang ini saling terkait dalam mengatur dunia pers dan penyiaran di Indonesia.
Wahyu Dyatmika, Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), menambahkan bahwa penolakan ini bukanlah sekadar pernyataan, namun sebuah peringatan.
Jika aspirasi komunitas pers diabaikan, DPR dan pemerintah harus siap menghadapi perlawanan dari masyarakat pers.
Ketidakpuasan tidak hanya berkutat pada ketiadaan UU Pers dalam pertimbangan RUU Penyiaran, tetapi juga pada proses penyusunan yang dianggap tidak melibatkan pihak-pihak yang seharusnya terlibat.
BACA JUGA:Pernah Dengar Bawang Batak? Ini Manfaatnya untuk Kesehatan Tubuh
BACA JUGA:Gold Lane Terbaik Mobile Legends 2024, Build Harith Terbaik
Ninik Rahayu menekankan pentingnya partisipasi penuh dari seluruh pemangku kepentingan dalam proses penyusunan undang-undang seperti ini.
Salah satu poin yang paling kontroversial dalam RUU Penyiaran adalah larangan terhadap penayangan jurnalisme investigasi.
Hal ini dianggap bertentangan dengan UU Pers yang menjamin tidak adanya penyensoran atau pembatasan terhadap pers nasional.