JAMBI-INDEPENDENT.CO.ID - Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, memaparkan langkah strategis pemerintah dalam menghadapi tantangan mahalnya harga obat di Indonesia. Ia menjelaskan, harga obat di Indonesia dapat mencapai 1,5 hingga 5 kali lebih mahal dibandingkan Singapura dan Malaysia.
Faktor utama di balik mahalnya harga bukanlah pajak, melainkan biaya pemasaran dan distribusi yang tinggi.
"Pajak bukan isu utama dari tingginya harga obat, tapi biaya marketing dan distribusi yang mahal. Untuk mengatasinya, pemerintah akan membuat sistem yang lebih baik guna mengatasi persoalan ini," ucap Menkes, Jumat 13 Desember 2024.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah mendorong produksi obat dan alat kesehatan dalam negeri. Langkah ini tidak hanya memperkuat sektor kesehatan tetapi juga ekonomi nasional, terutama dalam kesiapan menghadapi pandemi di masa depan.
Selain itu, pemerintah memperkuat akses terhadap obat inovatif melalui Health Technology Assessment (HTA) dengan sistem satu pintu dan satu standar.
BACA JUGA:Subsidi BBM untuk UMKM dan Ojek Online: Strategi Pemerintah dalam Penyaluran Tepat Sasaran
BACA JUGA:Mengenal Perbedaan Antara Zodiak dan Shio: Dua Sistem Astrologi yang Berbeda
HTA ini memungkinkan para pemangku kepentingan melakukan kajian mandiri yang akan dievaluasi oleh Komite Penilaian Teknologi Kesehatan.
Menkes juga menyoroti pentingnya efisiensi dalam proses persetujuan uji klinis dan registrasi obat. Menurutnya, proses birokrasi yang lama dan rumit menjadi hambatan dalam memastikan akses obat yang lebih luas dan terjangkau bagi masyarakat.
"Akses obat kita masih rendah. Pastikan kita harus menyederhanakan proses perizinan uji klinik dan registrasi obat, jangan terlalu lama, jangan terlalu birokratis," ucapnya.
Langkah-langkah ini diharapkan dapat mengatasi tantangan sistem kesehatan Indonesia, sekaligus memastikan obat-obatan tersedia dengan harga yang lebih terjangkau bagi masyarakat.