Kali ini ia tak bisa meneruskan lebih jauh. Tubuhnya mulai limbung. Sahabat yang tanggap menghampiri dan memeluknya, serta meneruskan azan yang terpotong.
Saat itu tak hanya Bilal yang menangis, seluruh jamaah yang berkumpul di Masjid Nabawi, bahkan yang tidak berada di masjid pun, ikut menangis.
Mereka merasakan kepedihan ditinggal Kekasih Allah untuk selama-lamanya. Semua menangis, tapi tidak seperti Bilal.
Tangis Bilal lebih deras dari semua penduduk Madinah. Tak ada yang tahu persis mengapa Bilal seperti itu, hanya Abu Bakar yang tahu. la pun membebaskan Bilal dari tugas mengumandangkan azan.
Saat mengumandangkan azan, kenangannya bersama Rasulullah berkelebat tanpa bisa dibendung. la teringat bagaimana Rasulullah memuliakannya saat ia terhina, hanya karena ia budak dari Afrika.
la teringat bagaimana Rasulullah menjodohkannya. Saat itu Rasulullah meyakinkan keluarga mempelai wanita Dengan berkata
“Bilal adalah pasangan dari surga, nikahkanlah saudara perempuanmu dengannya”
Pria legam itu terenyuh mendengar sanjungan Sang Nabi akan dirinya. Seorang pria tidak tampan dan mantan budak.
Kenangan akan sikap Rasul yang begitu lembut pada dirinya berkejaran saat ia mengumandangkan azan. Ingatan akan sabda Rasul.
“Bilal, …istirahatkanlah kami dengan shalat…” lalu ia pun beranjak adzan, muncul begitu saja tanpa bisa ia bendung.
Kini tak ada lagi suara lembut yang meminta istirahat dengan shalat, Bilal pun teringat bahwa ia biasanya pergi menuju bilik Nabi yang berdampingan dengan Masjid Nabawi setiap mendekati waktu shalat.
Didepan pintu bilik Rasullulah Bilal berkata. ‘Saatnya untuk shalat, saatnya untuk meraih kemenangan. Wahai Rasulullah, ….saatnya untuk shalat..”
Kini tak ada lagi pria mulia yang akan keluar dengan wajah yang ramah dan penuh rasa terima kasih karena sudah diingatkan akan waktu shalat.
Bilal teringat, saat shalat ‘ld dan shalat lstisqa’ ia selalu berjalan dl depan Rasulullah dengan tombak di tangan, tiga tombak pemberian Raja Habasyah, berjalan menuju tempat shalat.
Salu tombak diberikan Rasul kepada Umar ibn Al-Khalhthab. tombak la’nnya beliau berikan kepada Bilal, dan satu tombak untuk dirinya sendri. Kini tombak itu saja yang masih ada, tanpa diringi pria mulia yang memberikannya.
Hati Bilal makin perih. Seluruh kenangan bertumpuk, membuncah bercampur dengan rasa rindu dan cinta yang sangat pada diri Bilal. Bilal sudah tidak tahan lagi. ia tidak sanggup lagi untuk mengumandangkan azan.