Kisah Adzan Terakhir Bilal Ibnu Rabah, Sebuah Panggung Untuk Menghasilkan Orang-orang Terhormat

Minggu 23-01-2022,08:52 WIB

“Paman, maukah engkau sekali saja mengumandangkan azan buat kami? Kami ingin mengenang kakek kami.”

Ketika itu, Umar ibn Al-Khaththab yang telah menjadi khalifah juga sedang melihat pemandangan mengharukan itu Beliau pun memohon untuk mengumandangkan azan, meski sekali saja.

Dia memenuhi permintaan itu. Saat? waktu shalat tiba, dia naik ke tempat dia biasa mengumandangkan azan pada masa Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam masih hidup.

Saat lafadz “Allahuakbar” dikumandangkan nya, mendadak seluruh Madinah senyap, segala aktivitas terhenti.

Semua terkejut, suara yang telah bertahun-tahun hilang, suara yang mengingatkan pada sosok nan agung, suara yang begitu dirindukan, telah kembali.

Ketika dia meneriakkan kata, “Asyhadu an Ia“ ilaha iIllallah, seluruh isi Kota Madinah berlarian ke arah suara itu.

Ketika mengumandangkan, “Asyhadu anna Muhammadan Rasullulah” Madinah pecah oleh tangisan dan ratapan yang sangat memilukan.

Semua menangis, teringat masa-masa terindah bersama Rasulullah, Tangis Umar ibn Al-Khaththab paling keras. Bahkan Bilal sendiri pun tak sanggup meneruskan azannya.

Lidahnya tercekat oleh air mata yang berderai. Hari itu, Madinah mengenang saat masih ada pria paling mulia dimuka bumi ini.

Tak ada pribadi agung yang begitu dicintai seperti Rasullulah. Dan azan itu, azan yang tak bisa dirampungkan dan merupakan azan terakhirnya.

Dia tak pernah bersedia lagi mengumandangkan azan. Sebab, kesedihan yang sangat segera mencabik-cabik hatinya mengenang seseorang yang mengangkat derajatnya menjadi begitu tinggi.

(Dikutip dari buku At Tribute Jamil Azzaini, Co- writer : Sofie Beatrix)

Tags :
Kategori :

Terkait